Indonesia Butuh Rencana Strategis Pulihkan Krisis
unpi/antaranews • Senin, 29 Juni 2020 12:30 Wib
Sumber Foto : sokratis.it
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Indonesia membutuhkan kebijakan strategis yang terperinci untuk menghadapi krisis akibat wabah COVID-19 dan tidak bisa bergerak hanya dengan asumsi-asumsi pasar yang tidak pasti sehingga semua harus dipikirkan dengan terperinci, menurut Enggartiasto Lukita.
"Semua harus jelas, sesuai data, dan terperinci. Misalnya dalam dunia usaha, kita harus bicara secara rinci satu persatu, apa yang perlu kita impor dan bisa kita ekspor ke setiap negara," kata Enggar.
Dia mengatakan itu saat menyampaikan pidato kunci dalam acara webinar bertajuk Entepreneurship: "Making a Difference in this New Era", yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Prasetiya Mulya (Ikaprama). Acara ini diprakarsai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Juan Permata Adoe sekaligus salah satu kandidat ketua umum Ikatan Alumni Universitas Prasetya Mulia (Ikaprama).
Menurutnya, sikap terperinci itu juga dipakai dalam menganalisis potensi pasar ekspor di sejumlah negara. Meski permintaan global menurun, Enggar yakin ada strategi yang bisa diterapkan agar Indonesia mampu mempertahankan ekspor produk-produk utamanya, terutama yang sulit untuk diganti dan dibutuhkan oleh dunia, seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan produk-produk berbasis pertanian.
"Tentu ini butuh kolaborasi yang kuat antara pengusaha dan pemerintah," kata Enggar, dilansir Antaranews.
Selain pasar ekspor, yang juga harus menjadi perhatian tentunya adalah pasar domestik. Di tengah permintaan dunia yang rendah, kata dia, pasar domestik harus diperkuat dan untuk memperkuat pasar domestik, pemerintah harus memerhatikan pasokan komoditas dasar serta dukungan terhadap usaha kecil dan menengah.
"Bahan pokok harus diperhatikan. Dalam kondisi seperti ini, kelangkaan bahan pokok tidak boleh terjadi. Distribusi harus lancar, tentu dengan harga yang wajar," katanya.
Menjaga harga, menurut Enggar, adalah keharusan mengingat pandemi membuat daya beli masyarakat turun. Padahal, konsumsi domestik adalah penopang utama ekonomi Indonesia mengingat kalau dalam kondisi seperti ini harga sembako tidak stabil, maka sulit berharap ekonomi Indonesia bisa bangkit.
"Menjaga harga itu harus dibarengi juga dengan menjaga daya beli. APBN kita harus diarahkan pada berbagai proyek padat karya di daerah. Itu harus. Tanpa itu sulit. Walaupun dari sisi penerimaan negara dari proyek itu sangat terbatas. Tetapi dari sisi menjaga daya beli itu sangat membantu," kata Enggar.
Enggar mengatakan, langkah-langkah pemerintah dalam menahan daya beli untuk menjaga konsumsi, menjaga pasar domestik dan pasar ekspor, semua itu harus dibuat dalam satu sikap kebijakan yang padu dan rencana strategis yang terperinci. Jika itu dilakukan, Enggar optimistis ekonomi Indonesia akan bertahan dengan baik di tengah terpaan pandemi.
Ekonomi global diperkirakan menyusut 3 persen, ekonomi negara maju akan mengalami penurunan 6,1 persen, dan ekonomi negara berkembang tumbuh hanya 1 persen pada 2020. "Ekonomi Jerman diperkirakan anjlok 7 persen, Amerika Serikat 5,9 persen, dan Jepang 5,2 persen. Sementara itu, China dan India diperkirakan tumbuh hanya antara 1,2-1,9 persen," kata Enggar.
Kontraksi ekonomi juga terjadi di Indonesia. Dalam skenario terbaik, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh maksimal 0,5 persen pada 2020. Pada kuartal pertama tahun ini ekonomi masih mencatat pertumbuhan 2,97 persen, namun pada kuartal kedua, diprediksi akan tumbuh merosot 3,1-3,8 persen.