Perpusatakaan Dinilai Sebagai Simbol Peradaban
unpi/medcom.id • Senin, 18 Mei 2020 12:30 Wib
Sumber Foto : jarndyce.co.id
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Sebagai lembaga pemerintah non kementerian, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) sudah 40 tahun melayani masyarakat dan terus mengikuti tren.Perpustakaan dan teknologi saling mendukung dalam mengelola dokumen masa lalu guna menciptakan masa depan. Perpustakaan dituntut terus meningkatkan kualitas melestarikan dan menyediakan akses kepada publik melalui digitalisasi.
"Kita tahu hari-hari terakhir ini kita semua harus mengikuti program pemerintah untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah saja, karena itu peran perpustakaan semakin terasa. Baik bahan bacaan tersedia di rumahmaupun yang bisa kita akses melalui online," kata Kepala Perpustakaan Nasional, M. Syarif Bando, saat HUT ke-40 Perpusnas, Jakarta, Minggu, 17 Mei 2020.
Menurut Syarif, perpustakaan sudah bertransformasi dalam penyajiannya. Sekitar tiga miliar artikel bisa diakses melalui media online. Kemudian, ada 600 ribu buku berbahasa Indonesia yang bisa dibaca full teks, serta diakses lewat berbagai fasilitas, seperti gawai, dan komputer.
Menurut dia, semua ini menunjukkan perpustakaan mengubah paradigma dari sebelumnya harus dikunjungi, kini datang menjangkau masyarakat. Perpusnas Indonesia menjadi satu-satunya yang menerapkan Digital Rights Management, iPusnas, sebuah aplikasi android.
"Kepada seluruh penggiat literasi seluruh sahabat-sahabat saya pengelola perpustakaan di Indonesia dan juga para pendidik, kita semakin sadar bahwa perpustakaan adalah sebuah simbol peradaban," ungkap dia, dilansir Medcom.id.
Penulis terkenal di Perancis, Milan Kundera, mengatakan jika ingin menghancurkan sebuah bangsa sekaligus peradabannya, hancurkan semua buku-bukunya maka pastilah bangsa itu akan musnah.Syarif mengatakan gagasan ini menguatkan fungsi perpustakaan dalam menjaga dan mengembangkan peradaban bangsa. Buku merupakan buah peradaban bangsa yang didokumentasi, dihimpun, dan kemudian dibaca masyarakat. Bahkan, bisa terus dikaji untuk dikembangkan bagi kepentingan di masa depan.
Perpusnas memiliki tugas dan fungsi untuk menghimpun dan melestarikan khazanah intelektual bangsa berupa berbagai karya cetak dan karya rekam, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR).
Dengan demikian, Perpusnas menjadi suatu ikon peradaban pusat repositori nasional. Hal itu dipastikan dengan semua buku di Perpusnas legal terbit di Indonesia, serta mendapatkan internasional standar book number (ISBN).
"Namun kami menyadari bahwa jumlah terbitan di Indonesia saat ini belum seimbang dengan jumlah penduduk, sehingga salah satu kendala adalah keterbatasan bahan bacaan. Ditaksir sampai hari ini, tidak lebih dari sekitar 200 ribu-300 ribu judul buku yang terbit setiap tahun, dan rata-rata setiap judulnya hanya dicetak rata-rata sekitar 5 ribu eksemplar," urai Bando.
Ini menjadi penyebab utama terjadinya ketimpangan antarwilayah. Di beberapa kota besar mungkin lebih dari cukup untuk bahan bacaan. Tetapi daerah-daerah lain terutama perbatasan, seperti Indonesia bagian timur, masih terasa sangat kekurangan. Rasio antara jumlah buku yang terbit dan kebutuhan membaca penduduk sangat jauh.
Sementara itu, mengukur tingkat indeks literasi sebuah bangsa, UNESCO menetapkan minimal tiga buku baru untuk tiap orang setiap tahun. Benua Eropa dan Amerika, rata-rata masyarakatnya bisa membeli dan membaca buku mulai 15-20 judul setiap tahun.
Guna memahami tingkatan literasi, UNESCO menetapkan standar minimal satu orang tiga buku baru setiap tahun yang berlaku untuk semua. Selanjutnya kemampuan mengemukakan ide, teori, inovasi, dan kreativitas baru yang harus dipahami pada tingkat sekolah menengah. Terakhir literasi kemampuan menciptakan barang dan jasa bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global.
"Tantangan kita semakin berat ke depan. Berbagai upaya yang ditempuh negara lain untuk membangun indeks literasinya itu betul-betul mendapatkan perhatian yang serius. Sementara kita masih terkendala pada ketimpangan antarwilayah," jelas Syarif Bando.
Karena itu, lanjut Syarif, perlu motivasi, dedikasi, daya juang, dan kemampuan membangun sinergitas dengan semua kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, swasta, dan badan-badan lain yang punya perhatian terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).