Pandemi dan 4 Ancaman terhadap Dunia Pendidikan
unpi/duta.co • Selasa, 21 April 2020 10:20 Wib
Sumber Foto : captionsgram.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - UNESCO menghitung 1,5 miliar siswa di seluruh dunia yang pendidikannya terhambat akibat merebaknya virus Covid-19.
Per Maret 2020, mereka harus berhenti belajar di sekolah karena pemerintah di seluruh dunia kompak menutup sekolah, mendorong pembelajaran jarak jauh dari rumah, dan menugaskan guru untuk menjalankan mekanisme pembelajaran daring.
Macam-macam cara pun dilakukan oleh berbagai negara untuk memastikan pembelajaran siswa tetap berlangsung. Di negara kita, misalnya, sekolah diminta untuk mengajak belajar siswa lewat berbagai aplikasi belajar daring yang selama ini tersedia di luaran.
Selain itu, pemerintah kita harus rela menurunkan standar kompetensi yang harus dikuasai siswa dengan menekankan pada pembelajaran kecakapan hidup, dengan penilaian dilakukan melalui pemberian umpan balik secara kualitatif, bukan lagi kuantitatif, seperti dilansir Duta.co.
Kebijakan serupa juga ditempuh oleh Singapura, yaitu dengan mengajak siswa belajar dari rumah dan mengurangi frekuensi belajar resmi hingga hanya sekali dalam seminggu saja untuk setiap jenjang pendidikan.
Di hari lainnya, siswa bebas belajar apa pun, dari media mana pun, untuk menambah pengetahuan mereka. Sedangkan di negara dengan akses internet kurang menyeluruh seperti Peru dan Meksiko, pemerintah menyebarkan materi belajar lewat media televisi yang lebih mampu menjangkau seluruh pelosok.
Semua cara ini mau tidak mau harus ditempuh demi melanjutkan perputaran roda pendidikan di tengah situasi darurat. Meski demikian, kondisi ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut.
Pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih tegas dan kuat terkait penanggulangan penyebaran virus ini di Indonesia. Jika tidak, kemudian kondisi ini berlanjut hingga pergantian semester dan tahun akademik mulai Juni-Juli nanti, maka setidaknya ada empat masalah besar yang akan menimpa dunia pendidikan kita.
Pertama, adalah ancaman hilangnya pengalaman belajar siswa. Pada hakikatnya, anak-anak kita belajar di sekolah tidak untuk sekedar mendapatkan materi. Tetapi mereka ingin dan butuh mendapatkan pengalaman belajar. Yaitu dengan berinteraksi dengan guru, dengan sesama siswa, mengikuti organisasi, berkesempatan ikut pertukaran pelajar ke luar negeri, dan lain sebagainya.
Jika merujuk pada apa yang disampaikan oleh Daniel Goleman, kecerdasan emosi itu jauh lebih penting dan bermakna dalam kehidupan ketimbang sekedar keunggulan kecerdasan intelektual. Dan kecerdasan emosi yang sempurna hanya bisa diraih melalui interaksi dengan sesama, lingkungan, dan alam sekitar. Jika sekolah berhenti, pengalaman belajar itu pun akan hilang.
Bagaimana dengan pembelajaran dan komunikasi daring? UNESCO sepakat bahwa selamanya proses pendidikan untuk pengalaman belajar itu tak tergantikan oleh interaksi tak langsung semacam itu. Tak heran jika kemudian model pendidikan full board alias mondok belakangan ini menjadi idola di tengah masyarakat kita. Orangtua ramai-ramai mengirim anaknya ke asrama sekolah atau pesantren. Mereka berharap, dengan cara itu anak-anaknya mendapatkan pengalaman belajar yang paripurna.
Kedua, adalah terkait dengan biaya pendidikan. Jika pengalaman belajar tak bisa digapai di sekolah, maka tentu orangtua akan berpikir dua kali untuk membayar penuh biaya pendidikan ketika semester berganti nanti. Untuk sekolah negeri, mungkin ancaman ini tak seberapa berpengaruh karena bebasnya biaya pendidikan di sana. Namun kita juga perlu memikirkan nasib sekolah swasta dan perguruan tinggi yang pendapatan utamanya dari iuran biaya pendidikan.
Buat apa membayar biaya penuh kalau kemudian peserta didik hanya duduk di depan komputer sepanjang hari untuk menjalani pembelajaran? Maka skenario terburuk adalah satuan pendidikan yang terdampak perlu mulai berhitung ulang terkait pendanaan organisasinya untuk semester depan.
Di perguruan tinggi, berbagai rencana pembangunan dan skema pendanaan kegiatan dosen pun harus dihitung ulang. Beberapa laporan dari kolega perguruan tinggi di Amerika Serikat menyatakan bahwa simulasi pembiayaan organisasi untuk semester depan menunjukkan titik terendah. Banyak proyek dan dana penelitian yang harus dipangkas besar-besaran untuk menutupi berkurangnya pemasukan dari komponen iuran pendidikan.
Ketiga, adalah munculnya gelombang materi belajar yang belum dapat diverifikasi kesahihannya untuk konsumsi anak didik kita. Karena mereka diberikan kebebasan lebih luas untuk menggali ilmu sendiri dari berbagai sumber, bukan mustahil anak-anak kita yang masih dalam proses pembelajaran literasi informasi akan menemui materi-materi yang belum jelas kebenarannya.
Namun karena materi itu dibungkus dengan tampilan yang meyakinkan, anak-anak kita bisa terjebak dalam pemerolehan pengetahuan yang salah. Memang guru dan dosen tetap melakukan pengawasan, secara jarak jauh. Tapi berapa jam dalam sehari mereka bisa melakukannya, terhadap murid yang jumlahnya mencapai ratusan? Di sisa waktu, anak-anak berselancar bebas di dunia maya, menyerap ilmu dari sumber yang disangka valid, tetapi ternyata tidak.
Keempat, adalah terancamnya data pribadi anak-anak kita untuk disalahgunakan oleh pihak tak bertanggungjawab. Baru-baru ini terdapat laporan bahwa penggunaan aplikasi Zoom melalui sistem operasi iOS ternyata berdampak pada bocornya data pribadi penggunanya ke Facebook.
Dengan kata lain, siapapun yang melakukan registrasi data pribadi untuk bisa memakai Zoom lewat perangkat bernyawa iOS, data tersebut akan sampai juga ke tangan Facebook. Dalam etika informasi, suatu data yang didapat suatu organisasi tidak boleh dengan mudah dibagikan ke organisasi lain. Anda tentu pernah mengalami derasnya iklan produk simpan-pinjam yang masuk ke ponsel Anda setiap hari.
Kebocoran data seperti ini memang masih terus diupayakan perlindungannya oleh pemerintah Indonesia. Hanya saja, penggunaan internet yang masif di kondisi sekarang dapat mengancam bocornya data pribadi anak-anak kita. Ini satu hal yang juga perlu diantisipasi oleh Kemendikbud di balik kebijakan belajar merdekanya di tengah pandemik.
Bukan maksud menebar aura pesimistik di tengah-tengah upaya penanggulangan pandemi. Tetapi tulisan ini lebih bermaksud memenuhi semboyan 'Mencegah lebih baik daripada mengobati'. Bagaimanapun, pendidikan adalah satu dari dua hak dasar manusia Indonesia, selain kesehatan. Bila kesehatan sudah terancam, janganlah pula pendidikan kita terseret.
Penulis: Aulia Luqman Aziz adalah Pengamat Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya