Selain Cerdas, Mahasiswa Juga Harus Memiliki Sense of Crisis dan Berkarakter
unpi/beritasatu • Selasa, 17 Maret 2020 11:43 Wib
Sumber Foto : esquire.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Mahasiswa harus memiliki karakter, cerdas, dan juga sense of crisis agar tidak mudah dipengaruhi oleh berbagai pendapat yang berseliweran di dunia maya dan demi masa depan Indonesia yang berketahanan nasional. Ketidakmampuan mahasiswa dalam membedakan nilai yang baik atau buruk, yang merusak atau membangun, serta yang bernuansa provokasi atau bernuansa mewujudkan persatuan, akan menempatkan Indonesia di masa depan rapuh.
"Mahasiswa adalah agent of change dan sekaligus calon pemimpin masa depan," ujar alumnus PPSA XXI Lemhannas, Caturida Meiwanato Doktoralina.
Caturida mengingatkan mahasiswa bahwa zaman sudah berubah. Dunia yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, termasuk para mahasiswa, adalah dunia nyata dan dunia maya.
Kedua dunia ini akan menjadi tantangan nyata bagi para mahasiswa dalam mendidik dirinya sebagai calon pemipin masa depan yang berkarakter, berintegritas, berkemampuan bersosialisasi, dan memiliki sense of crisis.
"Ketika pemilihan Komisioner KPK berlangsung, rekan-rekan mahasiswa turun ke jalan dan kemudian diikuti oleh adik-adik generasinya yang bersekolah di SMA. Meskipun sikap mendukung atau tidak atas komisioner yang terpilih adalah pilihan dari masing-masing kelompok mahasiswa, namun keputusan untuk turun ke jalan belum didasarkan pada karakter, kecerdasan, dan integritas yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari berbagai dinamika yang terjadi beberapa hari setelah mahasiswa memutuskan turun ke jalan," ujar Caturida.
Sebagai agen perubahan, turun ke jalan menjadi semacam tradisi yang selalu ada di mana-mana. Namun, karakter mahasiswa yang memiliki sense of crisis, perlu diasah lebih tajam lagi, tambahnya, dilansir Beritasatu.com.
Ketidakmampuan mahasiswa memiliki sense of crisis menempatkan mereka pada posisi tidak mampu menganalisis nilai-nilai baik atau buruk, fakta atau hoax, dan kebenaran sebuah informasi atas keputusan yang berwujud sebuah gerakan bersama.
"Menjadi pemimpin, secara sederhana, adalah menjadi mentor, yang jika berbicara kepada rekan seperjuangan atau adik angkatan, bisa dilihat dari respon para audiensnya. Apakah arahannya didengarkan dengan baik, tidak mencari kambing hitam jika ada kesalahan, tidak menyalahkan pihak lain tetapi meluruskan," ujarnya.
Dikatakan, jika ada nasehat yang kurang tepat, maka mahasiswa wajib berpikir cepat dalam menganalisis situasi. Tetapi, jika bertolak belakang dengan aturan dan regulasi serta cita cita yang antiideologi serta nasionalisme, harus berani mengatakan tidak.
"Jadi, ada sikap tegas atas nilai-nilai yang sudah disepakati sebagai satu bangsa dan negara,” kata Caturida.
Caturida juga menegaskan bahwa pada zaman perjuangan kemerdekaan hanya dikenal dua tipe jalan yang harus dipilih, yakni sebagai pahlawan atau pengkhianat. Mereka yang memilih memiliki karakter pahlawan akan membentuk dirinya sebagai orang yang mencintai bangsa, negara, dan tanah air secara total.
Tipe Pahlawan ini akan segera bangkit mengangkat senjata ketika sense of crisis-nya mengatakan bahwa negara dan tanah airnya mendapat ancaman.
Sementara, pilihan tipe pengkhianat diputuskan berdasarkan kepentingan, tawar menawar, untung dan rugi, serta mencari selamat. Dalam konteks seperti ini, para pengkhianat tidak memikirkan masa depan bangsa dan negara, tetapi pribadinya bersama kelompoknya. Ada pamrih yang selalu menjadi ukuran pengambilan keputusannya.
Oleh karena itu, mahasiswa diingatkan untuk menggunakan nalar dalam mengunyah setiap informasi yang diterima. Tanpa menggunakan nalar, mahasiswa akan membiarkan diri dikunyah oleh informasi bohong dan bernilai negatif.
"Tantangan dan ancaman Indonesia di masa mendatang lebih berat dan sebagai calon pemimpin masa depan, mahasiswa harus menjadi pahlawan yang memiliki sense of crisis," ujarnya.