Jangan Puas jadi Sarjana, Jadilah Intelektual Cendekiawan
unpi/antaranews • Rabu, 11 Maret 2020 13:33 Wib
Sumber Foto : esquire.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan untuk tidak cukup puas dengan pencapaian akademik, seperti gelar sarjana, tetapi harus lebih jauh menjadi intelektual cendekiawan.
"Itulah sebabnya ndak cukup menjadi sarjana, tetapi harus baik budi. Apa itu baik budi? Cendikia. Kita menjadi cendikiawan, atau intelektual, nah ini beda dengan sarjana," katanya.
Hal tersebut disampaikannya saat membuka Forum Komunikasi dan Koordinasi Peningkatan Peran Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta.
Mahfud juga menyitir pemikiran Sosiolog Iran, Ali Syariati mengenai peran cendekiawan yang tertuang dalam bukunya tentang Sosiologi Islam.
"Kalau Ali Syariati ketika mau menulis bukunya tentang sosiologi Islam itu mengatakan beda dong cendikiawan dan sarjana. Sarjana itu ada keahlian teknis dan 'skill' yang ditulis di kertas bahwa anda ahli ini-ahli ini dan bisa melakukan itu," katanya, dilansir Antaranews.
Namun, kata dia, seorang intelektual cendekiawan, selain memiliki kehebatan 'skill', keahlian, dan pemikiran, juga memiliki kemuliaan watak untuk bertanggung jawab bagi kemajuan bangsa dan negara.
Menurut dia, sumber daya manusia (SDM) yang unggul dalam bahasa akademis lebih dari sekadar gelar sarjana yang ditandai dengan gelar akademis.
"Sarjana itu orang hebat, punya ukuran atau kualifikasi keahlian yang terukur ditandai oleh ijazah seperti sarjana S1, S2, S3, tapi itu belum tentu unggul," katanya.
Oleh sebab itu, kata dia, Rektor pertama UGM Prof Sardjito pernah menyampaikan bahwa tidak cukup menjadi sarjana, tetapi jadilah sarjana yang sujana.
"Apa itu? Sarjono sing sujono, sarjana yang sujana. Yaitu, orang yang pandai dan baik budi, karena banyak orang pandai tidak baik budi, tapi banyak orang baik budi tapi bodoh," katanya.
Makna itu pula, kata dia, yang dituangkan dalam konstitusi bahwa pendidikan di Indonesia ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Itulah yang di dalam konstitusi kita itu disebut pendidikan di Indonesia itu ditujukan untuk untuk mencerdaskan kehidupan, bukan mencerdaskan otak. Coba dilihat UUD. Mencerdaskan kehidupan bangsa, apa artinya? Artinya otak dan watak," kata Mahfud.