Dampak Pemindahan Ibu Kota pada Pendidikan Tinggi
unpi/medcom.id • Rabu, 19 Februari 2020 12:30 Wib
Sumber Foto : chemistryworld.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Wacana pemindahan ibu kota juga dipastikan akan berdampak pada dinamika pendidikan tinggi di Indonesia. Persoalan daya tampung perguruan tinggi di ibu kota baru salah satunya, harus direncanakan dengan matang seiring dengan makin seriusnya pembahasan wacana pemindahan ibu kota.
Dampak pemindahan ibu kota pada dunia pendidikan tidak akan terlalu serius. Hanya saja pada masa transisi layanan bisa terganggu, karena akan banyak pegawai dan keluarga pegawai yang harus pindah ke ibu kota baru, menurut pengamat pendidikan dari Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Edy Suandi Hamid.
Persoalan daya tampung pendidikan tinggi di ibu kota baru, diyakini Edy akan menjadi salah satu persoalan yang harus diperhatikan di bidang pendidikan tinggi. Apalagi berdasarkan pengalaman di negara-negara lain, posisi kampus-kampus atau perguruan tinggi yang sudah ada di Jakarta akan tetap berada di Jakarta.
"Tohsekolah, dosen, perguruan tinggi tetap di lokasi masing-masing. Tidak lantas pindah, tidak harus juga buka cabang di ibu kota baru," kata Edy, dilansir Medcom.id.
Justru menurutnya, di lokasi ibu kota yang baru, lembaga pendidikan harus menyiapkan diri agar dapat menampung warga yang pindah. "Kita lihat pengalaman empirik negara lain, perguruan tinggi tidak harus buka cabang baru. Bisa saja perguruan tinggi di sana akan cepat maju, atau bahkan perguruan tinggi baru akan lahir," ungkap mantan Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) ini.
Menurut Edy, jika memang disiapkan dengan matang, maka pemindahan ibu kota ini dapat berjalan tanpa masalah berarti. "Yang pindah kan hanya aktivitas pemerintahannya, sebagai pusat ekonomi saya kira Jakarta akan tetap seperti sekarang, penduduk hanya berkurang sedikit," kata Edy.
Sebab masyarakat akan dituntut datang ke ibu kota baru hanya jika ada urusan yang mewajibkan kehadiran secara fisik saja. "Layanan-layanan terkait pendidikan mungkin membuat orang harus ke kementerian misalnya," ujar mantan ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) ini.
Meski begitu, di era serba digital seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin kehadiran fisik juga dapat dikurangi dengan memanfaatkan teknologi. "Jadi kepindahan harus dibarengi juga dengan lebih intensif penggunaan layanan berbasis IT. Sehingga di manapun ibu kota berada tidak akan masalah," tegas mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Ide pemindahan ibu kota ini, menurut Edy, sebenarnya bukan wacana baru. Wacana ini sudah bergulir sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno. "Sudah lama, sejak zaman Bung Karno. Saya kira logis pemindahan ibu kota ini dalam konteks untuk pemerintahan," jelasnya.
Namun menurutnya, jangan bermimpi Jakarta akan mendadak lengang. Sebab sudah terpola selama ini, Jakarta menjadi pusat kegiatan ekonomi. Tengok saja New York, tetap terbesar di Amerika Serikat, dan DC (Washington DC) sebagai ibu kota tetap tak terlalu ramai. "Apalagi Australia, Sydney gemerlap, Canberra sepi nyenyet (sangat sepi)," kata Edy.
Kemudian juga Karachi, tetap semerawut walau ibu kota Pakistan sudah lama dipindah ke Islamabad. Atau yang mutakhir Kuala Lumpur, tetap tak banyak berubah walau pusat pemerintahan sudah dipindah ke Putra Jaya.
"Jadi jangan berpikir pindahnya ibu kota lantas mengubah lokasi baru akan seperti Jakarta, dan Jakarta menyepi," ungkap Edy.