Tingginya Pendidikan tak Jamin Kemudahan Peroleh Pekerjaan
unpi/republika • Jumat, 31 Januari 2020 09:15 Wib
Sumber Foto : thaiembassy.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Berdasarkan teori human capital, pendidikan seseorang seharusnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi atau dengan kata lain kemudahan seseorang mendapat sebuah pekerjaan.
Kendati demikian, Profesor dari International Institute of Social Studies, The Hague University, Belanda, Ben White menjelaskan, konsep yang menyatakan bahwa dengan tingginya pendidikan seseorang pasti mempermudah orang memperoleh pekerjaan tidak selaras dengan realita sosial yang ada di Indonesia maupun negara-negara lain.
"Semakin banyak pendidikan tinggi dan semakin banyak lulusan sarjana saat ini justru tidak membuat mereka dengan mudah mendapat pekerjaan," kata Ben White saat mengisi seminar 'Writing a Literature Review' yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) di Gedung Masri Singarimbun, Yogyakarta.
Ben menerangkan adanya penawaran (suplai) jauh melebihi dibandingkan permintaan, atau semakin banyak sarjana pendidikan tinggi dan makin banyak lulusan sarjana, justru membuat pekerjan tertentu itu sulit karena sudah terpenuhi.
Ben memaparkan hal ini berlaku pula pada negara Belanda maupun negara lainnya. Ia menerangkan apabila ada lulusan sarjana maka tidak dapat kemudian dia mendapatkan pekerjaan secara langsung dengan mudah.
"Misalnya, waktu saya kuliah di Inggris Tahun 1972, terdapat 5 persen lulusan SMA yang dapat melanjutkan kuliah dan langsung kerja mendapat penawaran sesuai kualifikasi, berbanding terbalik dengan saat ini," paparnya, dilansir Republika.
Akan tetapi, menurut Ben, hal tersebut dikecualikan bila seorang sarjana telah atau mengikutsertakan dirinya dalam kegiatan kerelawanan, mengikuti internship yang mampu mengembangkan kompetensi, melatih keahlian, serta memiliki pengalaman kerja.
Guru Besar dari Erasmus University Rotterdam, Belanda, ini mengungkapkan perlu adanya gebrakan baru dalam dunia pendidikan yang selaras dengan realitas sosial yang ada. "Harus ada solusi dari pemerintah yang menjamin perlindungan melalui pola pikir kritis yang dikembangkan”, tutur Ben.