Sejarah Banjir Besar Jakarta, Sejak Zaman VOC Hingga 2020
unpi/cnnindonesia • Jumat, 03 Januari 2020 12:30 Wib
Sumber Foto : tempo.co
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Rentetan banjir besar Jakarta telah berlangsung lama bahkan bencana itu sempat terjadi tahun 1600-an, tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC.
Saat itu, Coen membangun sejumlah kanal dan sodetan Kali Ciliwung. Cara ini ia tempuh untuk mengatasi banjir yang melanda Batavia (sekarang DKI Jakarta), namun tak membuahkan hasil.
Banjir besar terjadi menerjang Jakarta tahun 1918 saat pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1920, Stirum mencanangkan Kanal Banjir Barat.
Pembangunan Kanal Banjir Barat itu dimulai dari Pintu Air Manggarai hingga Muara Angke. Saat itu, ketinggian air mencapai 1,5 meter di beberapa titik.
Menurut situs Historia, pada masa kolonial, pemerintah membentuk Department van Burgerlijke Penbare Werken (BOW) tahun 1918. Lalu diserahkan kepada Gemeentewerken atau badan yang mengurusi perhubungan dan perairan di tingkat kotapraja pada 1933.
Saat itu, pemerintah Belanda menggambarkan 25 ribu gulden (mata uang jaman penjajahan Belanda) untuk menanggulangi banjir di daerah Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng.
Puncak pengendalian banjir di Jakarta diketahui terjadi pada 1913 sampai 1930. Tahun 1927, pemerintah sempat mengeluarkan 288.292 gulden, seperti dilansir CNNIndonesia.
Usai Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan, masalah banjir kembali menjadi perhatian tahun 1965. Saat periode yang sama, pemerintah membentuk Komandao Proyek Pencegahan Banjir dan berganti nama menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya tahun 1972.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin saat itu juga menggandeng pihak asing yaitu Netherlands Engineering Consultants untuk membangun waduk dalam kota serta pembuatan saluran baru seperti saluran Cengkareng dan Cakung.
Meski Ali telah melakukan perpanjangan saluran kolektor, normalisasi sungai sampai sodetan kali, banjir besar tetap terjadi awal 1976.
Saat kepemimpinan Sutiyoso (periode 1997-2007), Jakarta dilanda banjir besar tahun 2002 dan 2007. Namun, banjir tahun 2007 lah yang lebih luas dan banyak memakan korban jiwa.
Setidaknya ada 80 jiwa yang harus merenggut nyawa. Kerugian material akibat lumpuhnya perputaran bisnis saat itu mencapai triliunan rupiah dan warga yang mengungsi sekitar 320.000 ribu jiwa.
Curah hujan yang cukup deras menyebabkan tanggul jebol di Banjir Kanal Barat (BKB) aliran Kali Sunter. Akibatnya, kawasan Jatibaru-Tanah Abang dan Petamburan tergenang air setinggi 2 meter.
Era Sutiyoso pun berakhir, banjir besar lagi-lagi menerjang Jakarta tahun 2015. Saat itu, curah hujan masuk kategori ekstrem, (diatas 150 milimeter (mm) per hari) yakni 170 mm.
Curah hujan tinggi ini terjadi di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur bagian utara, Tangerang, dan Pasar Minggu di Jakarta Selatan.
Empat tahun berselang tepatnya saat malam pergantian tahun 2020, Jakarta kembali diguyur hujan lebat tanggal 31 Desember 2019 sekitar pukul 17.00 WIB sampai 1 Januari 2020 sekitar pukul 11.00 WIB. Curah hujan yang mengguyur tercatat 377 mm per hari. BMKG menyebut curah hujan ini tertinggi sejak 1996.
Akibatnya ada 169 titik banjir di seluruh wilayah Jabodetabek dan Banten, seperti disampaikan Kapusdatin dan Humas BNPB Agus Wibowo. Titik banjir terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat 97 titik, DKI Jakarta 63 titik dan Banten 9 titik.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah yang paling terdampak banjir adalah Kota Bekasi (53), Jakarta Selatan (39), Kabupaten Bekasi (32), dan Jakarta Timur (13).