Mendikbud Jelaskan Perbedaan USBN dan UN
unpi/infopublik • Senin, 30 Desember 2019 09:11 Wib
Sumber Foto : eletsonline.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menjelaskan soal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan Ujian Nasional (UN) yang merupakan dua hal berbeda.
"Ini dua hal yang berbeda. USBN itu ada tes kelulusan. Artinya di akhir kelas 6, kelas 9, dan diakhir kelas 12, ada yang namanya tes ujian kelulusan, artinya itu yang menentukan anak lulus dari SD, SMP atau SMA. Itu diubah yang tadinya berstandar nasional, artinya kalau berstandar nasional bisa pilihan ganda, soal-soalnya dapat dari mana, bisa dari UN lagi. Jadi seperti ada mini UN dari satu sekolah, itu suatu kesalahan metode," kata Mendikbud.
Disebutkan, kenapa USBN itu dilakukan oleh sekolah, agar lebih variatif, pelayanan sebenarnya untuk murid itu. Bisa nilai dari esai, karya tulis, apapun potofolio dan lain-lain. Bahkan kalau pilihan ganda pun gak apa-apa, tapi paling tidak lebih mendalam. Dan ada jawaban-jawaban singkat itu saja, dan yang bisa dilakukan secara nasional.
"Itu bisa dilakukan oleh guru, jenjang untuk menentukan kelulusan. Di UU sudah disebut, kelulusan itu adalah hak prerogratif sekolah. Kalau distandarisasi, antara sekolah maka bukan kedaulatan sekolah, itu kita kembalikan. Ini yang banyak guru-guru bilang belum siap, kalau guru-guru itu belum siap dan ingin menggunakan format sebelumnya, silakan. Ini bukan pemaksaan terhadap versi baru," ujarnya, dilansir Infopublik.
Menurutnya, hal itu gak apa-apa, kalau mau bantuan dari dinas, atau bahkan mendaur ulang soal-soal dari UN. Kalau memang belum siap tidak ada masalah, sama saja sama tahun sebelummya. Tapi apa yang berubah, yang berubah mulai 2020 tidak ada lagi pemaksaan menggunakan standarnya dinas atau standar pilihan ganda, tidak ada pemaksaan. Artinya,apa yang berubah dengan adanya kebIjakan ini, bagi sekolah yang punya guru yang ingin maju dari yang simpel pilihan ganda, diperbolehkan.
"Ini kebijakan yang mendukung kemerdekaan bagi yang menginginkan perubahan. Sudah tidak ada lagi pemaksaan dari pusat maupun dinas menggunakan standar ini atau itu. Kami akan mencari contoh-contoh sekolah penggerak, yang ingin menggunakan penilaian yang lebih holistic diperbolehkan, dan formatnya tidak hanya tes terulis, penilaiannya bisa oral, project, hasil karya, esai, dan lainnya," tuturnya.
Sementara itu, terkait UN, sebelumnya selama ini adalah suatu pengukur yang berstandar nasional. Kalau berstandar nasional berbasis computer, dan dilaksanakan oleh pusat. Tujuannya apa, adalah untuk mengakses sistem pendidikan, apakah kualitas sekolah atau sistem overall. Tapi karena pelaksanaannya di SMP kelas 9 dan di akhir SMA kelas 12, itu angka keluar untuk masing-masing murid, padahal itu tidak menentukan kelulusan.
"Jadi apa yang terjadi angka akhir siswa itu, dapat dari UN itu digunakan untuk proses seleksi ke jenjang sekolah berikutnya, dan digunakan untuk evaluasi, baik dinas maupun sekolah. Jadi, semua panik. Hasil angka ini, Bayangkan tiga tahun sekolah, 2-3 jam dites, berdasarkan itu seluruh nilai seberapa hebatnya ini anak ditentukan dalam 2-3 jam itu. Ini tidak bisa, ini hal yang tidak adil. Karena Menurut UU, UN harusnya bersifat mengevaluasi sistem bukan mengevaluasi prestasi siswa," jelas Nadiem.
Untuk itu, kebijakan yang akan dilakukan, pertama adalah ganti waktunya di pertengahan. Kedua, memberikan waktu kepada sekolahnya untuk memperbaiki dirinya. Ketiga, kontennya diganti. "Ini perbedaannya, UN yang berdasarkan mata pelajaran, dan asesmen kompetensi," terangnya.
Ia menambahkan, asesmen kompetensi ini kemampuan menggunakan informasi untuk analisa dan aplikasi yang real. Makanya jangan dicampur dua hal ini yang berbeda. USBN menjadi UN adalah yang menentukan kelulusan di akhir SD, SMP dan SMA. "UN itu adalah barometer sistem sekolahnya, yang dievaluasi itu level sekolahnya, dan juga level sistem pendidiknnya secara nasional, dan yang di ukur itu berbeda," ungkap Nadiem.