Grand Design Pendidikan Perlu Segera Diselesaikan
unpi/republika • Jumat, 27 Desember 2019 14:00 Wib
Sumber Foto : freedomworks.org
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hetifah Sjaifudian mengatakan blueprint atau cetak biru pendidikan nasional adalah hal yang penting. Ia berharap, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) segera menyelesaikan cetak biru tersebut.
"Saya harap Kemendikbud segera menyelesaikan grand design ini, bekerja sama dengan Bappenas, Kemenperin, Kemenaker, dan pihak-pihak terkait lainnya," kata Hetifah, dilansir Republika.
Ia menjelaskan, cetak biru perlu untuk menjadi acuan dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang diinginkan. Isi cetak biru tersebut misalnya adalah 10 hingga 20 tahun lagi ingin menjadi negara yang seperti apa.
"Industri apa yang dikembangkan, butuh tenaga kerja berapa, dan komposisinya, misal berapa persen lulusan S2, S1, vokasi, dan sebagainya. Nanti supply pendidikannya disesuaikan," kata Hetifah menjelaskan.
Politikus Partai Golkar ini mencontohkan, misalnya Indonesia ingin menjadi negara industri. Maka, sekolah-sekolah vokasi industri perlu banyak dibangun dan diperbaiki. Pemberian beasiswa juga mestinya diarahkan ke jurusan-jurusan yang dibutuhkan.
Menurut dia, tanpa itu semua pemerintah khususnya Kemendikbud tentu akan bingung harus membuat sistem pendidikan yang seperti apa. Sebab, tujuan dari kebijakan yang dilakukan tidak jelas.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim mengatakan memang pendidikan nasional membutuhkan cetak biru. Namun, cetak biru bukan untuk sistem pendidikan jangka pendek.
Ia menjelaskan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) di bidang pendidikan. Itulah yang menurut Ramli wajib dituntaskan dalam lima tahun ke depan.
Ramli menyinggung soal masa kabinet sebelumnya ketika Muhadjir Effendy menjadi Mendikbud. Menurut Ramli, Muhadjir sudah sukses melaksanakan RPJMN karena hampir semuanya dilaksanakan. Hanya saja, saat ini belum terlihat perubahan signifikan pada kebutuhan mendasar pendidikan.
"Seperti misalnya pemenuhan kebutuhan guru, pemenuhan fasilitas belajar, penyederhanaan kurikulum, serta pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Ramli menjelaskan.
Terkait masalah cetak biru, menurut dia apabila ingin serius dirumuskan maka harus dibuat untuk 50 hingga 100 tahun ke depan. Pembahasannya juga harus melibatkan berbagai pihak yang memang mengamalkan pendidikan. Pelibatan organisasi guru juga harus diperhitungkan.
Ia juga menjelaskan, cetak biru jangka panjang ini tentu saja membutuhkan fleksibilitas dalam penyusunannya. "Artinya, kita juga tidak bisa mematok sesuatu mengingat perubahan-perubahan di masa kini semakin cepat dibanding perubahan di masa lalu," kata Ramli.
Namun, ia menegaskan, arah dan kebijakan pendidikan masa depan memang harus ada. Sebab, apabila tidak dirancang sejak saat ini sistem pendidikan ia ibaratkan seperti berjalan tanpa arah.
"Pendidikan kita butuh perubahan yang besar, jika hanya sekadar tambal sulam atau sentuhan-sentuhan kecil, perbaikan tak akan terjadi," kata dia lagi.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan pembuatan cetak biru atau blueprint pendidikan tidak bisa dilakukan tergesa-gesa. Ia mengatakan, pihaknya mengusahakan dalam waktu enam bulan akan selesai.
"Jadi membutuhkan benar-benar karena kita sudah banyak materi, riset, hasil, tapi kan harus dikemas dalam satu strategi yang tepat. Tapi harapannya dalam waktu enam bulan ini sudah selesai, gitu," kata Nadiem, ditemui dalam konferensi pers di Kantor Kemendikbud, Senin (23/12).
Nadiem sebelumnya sempat menggagas konsep merdeka belajar untuk pendidikan Indonesia. Itulah yang menyebabkan ia mengubah empat kebijakan yakni mengganti Ujian Nasional (UN) dengan sistem asesmen khusus, mengubah persentase penerimaan peserta didik (PPDB) berbasis zonasi, menyederhanakan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan mengembalikan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) kepada sekolah.
Menurut dia, konsep merdeka belajar tersebut sudah merupakan suatu blueprint sendiri. Ia mencontohkan, soal dikembalikannya USBN ke sekolah. Guru kemudian diminta untuk membuat sistem penilaiannya sendiri.
"Mau itu guru kompetensi tinggi, kompetensinya rendah, berpikir sendiri gimana caranya ya nilai murid saya. Gimana saya bisa mengintepretasi kompetensi berstandar nasional menjadi bentuk penilaian yang relevan dan akurat untuk murid-murid saya," kata Nadiem.