Belajar Harus Bermakna Bukan Sekadar Ranking
unpi/kompas • Selasa, 10 Desember 2019 13:37 Wib
Sumber Foto : seigaku-seminar.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Pendidikan meski bersifat universal namun tidak begitu saja dapat diterapkan secara seragam di setiap unit pendidikan di setiap negara. Pendidikan harus berakar pada kearifan lokal setiap daerah, setiap negara.
Penguatan pendidikan berbasis kondisi sosial dan budaya masyarakat ini mengemuka dalam pemaparan disampaikan Tristian Stobie, Director Education Cambridge International dalam konferensi internasional yang digelar Cambridge International di Bali (9/12/2019).
Tristian menegaskan proses belajar bukan hanya transisi informasi dari guru ke siswa yang kemudian dinilai namun juga merupakan proses konstruksi di mana proses belajar itu memiliki makna atas kondisi nyata yang terjadi di masyarakat.
"Budaya dan konteks menjadi penting dalam pembelajaran sehingga pembelajaran harus merefleksikan nilai-nilai yang ada di masyarakat dalam konteks lokal maupun nasional," jelasnya. Bukan soal kompetisi dan ranking.
Banyak terjadi di sekolah adalah siswa dan orangtua berorientasi pada ranking maupun kompetisi antar siswa. Guru pun tidak jarang menekankan pada nilai siswa saat memberikan penjelasan pada siswa.
Padahal, menurut Tristian bukan hal itu yang penting dalam pendidikan. Semestinya, siswa didorong untuk mencapai potensi optimal mereka bukan dibandingkan dengan siswa lain melainkan dengan diri siswa sendiri.
"Melalui pembelajaran dan pelatihan, siswa ditantang untuk menjadi lebih baik dari diri mereka sendiri sebelumnya," jelas Tristian.
Tristian mengambil contoh bagaimana kemudian Singapura tidak lagi memfokuskan diri pada kompetisi akademik. Menteri Pendidikan Singapura Ong Ye Kung yang tidak lagi menggunakan indikator ranking siwa dalam rapor pendidikan dasar.
Rapor siswa Singapura juga akan menghilangkan beberapa hal; level capaian, nilai maksimum dan minimum, memberi warna atau garis bawah pada nilai yang masih di bawah capaian, keberhasilan dan kegagalan siswa di akhir tahun ajaran serta total nilai.
"Ini adalah revolusi melawan pemikiran orangtua di Singapura yang sangat kompetitif dan berbasis pada nilai," ujar Tristian, dilansir Kompas.
Hal ini menuntut guru melakukan perubahan paradigma dalam pembelajaran. "Karenanya memperluas pengetahuan siswa menjadi hal krusial dalam metode pengajaran guru," ujar Tristian. Guru diimbau untuk memahami beberapa hal, diantaranya; mengetahui secara akurat apa yang sudah atau belum dipahami siswa, mendorong pembelajaran dan tugas-tugas yang medorong siswa berpikir kritis serta memantau kemajuan yang dicapai siswa untuk kemudian membuat strategi lanjutan.
"Pembelajaran adalah juga soal membangun sentuhan emosional, tidak hanya sekadar menyampaikan pengetahuan. Selain itu, membangun budaya atuu habit belajar adalah juga hal yang tidak kalah penting," tegas Tristian.
Tugas guru, lanjut Tritian adalah membantu siswa membangun koneksi, membangun "jembatan" dalam antar berbagai subyek yang dipelajari siswa. Ia menambahkan, "Ini membangun pemahaman interdisipliner lintas keilmuan pada siswa."
"Pedagogi atau strategi pembelajaran guru tidak hanya dimulai dan berakhir di dalam ruangan kelas. Ini terkait dengan beragam kondisi di sekitar sekolah, daerah dan juga negara. Eksplorasi pembelajaran antara siswa dan guru di dalam kelas harus juga merefleksikan nilai-nilai yang lebih luas di masyarakat," tutup Tristian.