Untuk Musafir: Lanjut Puasa atau Berbuka?
unpi/republika • Rabu, 08 Mei 2019 15:30 Wib
Sumber Foto : pixabay.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Seorang musafir yang mengadakan perjalanan pada siang hari bulan Ramadhan umumnya menghadapi pilihan. Apakah dia tetap berpuasa ataukah membatalkannya?
Terkait ini, Syekh Yusuf Al-Qardhawi menguraikan pandangannya melalui buku Fiqh al-Shiyam (diterjemahkan jadi Tirulah Puasa Nabi: Resep Ilahi agar Sehat Ruhani-Jasmani).
Allah SWT menetapkan hukum-Nya tentang ini berturut-turut pada surah al-Baqarah ayat 184 dan 185. Intinya, ada keringanan (rukhsyah) bagi mereka yang bepergian.
Bentuk rukhsyah itu ialah boleh berbuka puasa. Apabila memilih berbuka puasa, pelakunya diharuskan mengganti puasanya itu pada hari lain di luar Ramadhan.
Beberapa hadis Nabi Muhammad SAW juga memberi petunjuk soal ini. Dalam riwayat Muslim disebutkan, Hamzah suatu kali bertanya, "Wahai Rasulullah, saya sanggup melaksanakan puasa dalam perjalanan. Apakah itu suatu pelanggaran?"
"Itu keringanan dari Allah, barangsiapa mengambilnya, maka itu lebih baik, dan jika ingin tetap berpuasa, bukanlah pelanggaran," jawab beliau.
"Inilah dalil yang paling kuat atas keutamaan berbuka (bagi pelaku safar di bulan Ramadhan -Red)," tulis Syekh Yusuf Al-Qardhawi.
Mungkin akan timbul pertanyaan. Bukankah perjalanan pada era kini lebih mudah dan nyaman? Apalagi, perkembangan teknologi transportasi sedemikian pesatnya sehingga kini kita 'hanya' perlu duduk manis di dalam kendaraan bermesin?
Terkait ini, Syekh al-Qardhawi mengutip pandangan Ibn Taimiyah: "Walaupun seorang musafir berada dalam kenyamanan, boleh baginya berbuka dan meng-qashar shalat."
Lanjut Puasa atau Buka?
Syekh Yusuf Al-Qardhawi menuturkan ihwal orang yang bepergian dan menyatakan sanggup puasa. Mana yang lebih baik baginya: tetap berpuasa atau membatalkannya (mengambil rukhsyah)?
Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i berpendapat, puasa lebih utama bagi mereka yang kuat berpuasa dan tak merasa berat karenanya sepanjang perjalanan.
Sementara itu, al-Auja'i, Ahmad, dan Ishaq menyebut berbuka lebih utama dalam rangka mengamalkan rukhsyah. Mengutip hadis Nabi SAW, "Hendaklah kalian mengamalkan rukhsyah dari Allah yang diberikan kepada kalian."
Adapun Syekh Yusuf Al-Qardhawi sendiri berpandangan. Perlu dibedakan di antara para pelaku safar, mana yang mudah melaksanakan puasa dan mana yang tidak.
"Siapa yang merasa mudah melaksanakan puasa, dan dia merasa berat meng-qadha (mengganti) ketika semua orang berbuka (pada hari di luar Ramadhan -Red), maka puasa baginya lebih utama.
Siapa yang merasa berat untuk berpuasa, dan mudah baginya untuk meng-qadha pada hari yang lain, maka berbuka lebih baik baginya," papar ulama kelahiran Mesir itu.
Lantas, bagaimana bila seorang pelaku safar takut bila pada hari-hari di luar Ramadhan dirinya terlalu sibuk sehingga cenderung malas berpuasa? Menurut ulama pakar fikih tersebut, lebih baik orang ini berpuasa demi mengamalkan 'azimah.
"Yakni, bagi musafir yang santai serta tidak menemukan kesulitan dan kepayahan dalam perjalanannya, seperti melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang," kata Syekh Yusuf Al-Qardhawi.
Berapa Jarak Perjalanannya?
Syekh Yusuf Al-Qardhawi melanjutkan, para ahli fikih berbeda pendapat soal batasan durasi perjalanan yang bisa dijadikan patokan seorang musafir untuk bisa membatalkan puasanya.
Pendapat yang masyhur ialah, jarak safar berkisar antara 80-90 km. Kemudian, orang yang bepergian tak boleh berbuka sampai masuk perbatasan kota. Namun, ada pendapat lain, semisal yang ditegaskan Ibn al-Qayyim dalam Zad al-Ma'ad, "Tak ada petunjuk Nabi SAW mengenai batasan jarak perjalanan yang dibolehkan berbuka. Tak ada satu pun hadis yang sahih mengenai hal itu."
Para sahabat Nabi SAW, sambung Syekh al-Qardhawi, yang hendak safar juga berbuka puasa, sekalipun belum melewati desa atau kampung halaman.
Sumber Artikel: Republika