UNPI-CIANJUR.AC.ID - Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai pemerintah Indonesia harus serius melawan polusi sampah plastik dengan membuat kebijakan teknis yang mengatur kewajiban perusahaan produsen untuk mengurangi penggunaan plastik.
Kewajiban tersebut seharusnya berlaku bagi pemegang merek, pelaku usaha ritel, dan pelaku usaha jasa makanan dan minuman, menurut Direktur ICEL Henri Subagiyo.
Dalam keterangan tertulisnya, Henri mengatakan, "Indonesia sudah darurat sampah plastik. Indonesia berada di posisi nomor dua setelah Tiongkok sebagai negara penghasil sampah plastik yang dibuang ke laut. Sehingga dibutuhkan terobosan solusi yang mendorong perbaikan di sektor hulu, produsen."
'Beat Plastic Pollution' harus dimulai dengan menginisiasi kebijakan teknis yang mewajibkan produsen mengurangi sampah plastik, menurutnya, seperti dilansir Antara.
"Pemerintah harus memulainya jika benar-benar serius soal ini. Sebab solusi penanganan di hilir dengan program-program 3R (reduce, reuse, recycle) tidak efektif, sementara volume sampah plastik setiap tahunnya terus meningkat."
Tanggal 5 Juni merupakan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang tahun ini dengan tema "Beat Plastic Pollution". Sampah plastik kini jadi masalah genting global.
Diperkirakan setiap tahunnya sekitar 4,8 juta sampai 12,7 juta ton plastik masuk ke laut, di mana sebanyak 80 persen berasal dari sampah darat. Sementara itu, pada tahun 2015 Indonesia menghasilkan sampah sebesar 3,2 juta ton dan sebanyak 1,29 juta ton di antaranya sampai ke laut.
Henri menambahkan, permasalahan sampah di laut tidak terlepas dari pengelolaan sampah di darat. Dua pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan yakni masih tingginya kontribusi sampah di laut dari manufaktur plastik dan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan 3R.
World Bank mencatat setidaknya 52 persen dari komposisi sampah plastik di laut berasal dari manufaktur plastik. Di sisi lain, data KLHK menunjukkan bahwa di tingkat nasional total timbulan sampah plastik secara nasional sebanyak 16 persen.
Sementara untuk mengatasi sampah ini, Indonesia punya Perpres 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Di sisi lain, pada PP 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sudah mengatur mengenai langkah-langkah pengurangan sampah bagi produsen. Namun dua regulasi ini belum mengatur secara khusus mengenai sampah plastik.
"Regulasi ini masih bersifat alternatif tanpa ada ketentuan yang jelas tentang kriteria bagi produsen yang mendapatkan kewajiban untuk melakukan pengurangan sampah seperti pembatasan timbulan, pendauran ulang, atau pemanfaatan kembali sampah," kata Ohiongyi Marino, Kepala Divisi Pesisir dan Maritim ICEL
ICEL juga mendorong lahirnya kebijakan yang mengatur secara teknis disinsentif bagi produsen, pemegang merek dan pelaku usaha ritel modern, pusat perbelanjaan, jasa dan makanan. Pemerintah juga harus memperkuat mekanisme pengawasan, memberlakukan insentif dan disinsentif, serta penegakan hukum bagi pelaksanaan kebijakan-kebijakan terobosan ini.
Selain itu, pemerintah harus menerbitkan rencana aksi nasional penanganan sampah plastik di laut yang meliputi pembagian tanggung jawab dan rencana program yang jelas antar instansi pemerintah pusat dan daerah; darat, pesisir dan pulau-pulau kecil, dan laut; kewajiban produsen dalam upaya pengurangan sampah di laut; dan aksi pengawasan dan penegakan hukum bagi produsen dan pemerintah daerah.
"Tanpa rencana aksi yang detil dan terukur, Beat Plastic Pollution yang digadang-gadangkan pemerintah akan berakhir pada penumpukan sampah plastik yang lebih tinggi dan polusi laut yang semakin parah," kata Ohiongyi.