UNPI-CIANJUR.AC.ID - Bibit-bibit radikalisme sudah tumbuh sejak dini di sekolah melalui pendidikan, menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Menanggapi hal tersebut, FSGI memberikan beberapa rekomendasi sebagai bagian dari ikhtiar kolektif mencegah wabah radikalisme khususnya di dunia pendidikan.
Sebagai profesi yang mulia, guru mesti mengingat kembali kompetensi guru. Guru punya misi luhur yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV: 'Mencerdaskan kehidupan bangsa', kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI Heru Purnomo.
Misi filosofis dan konstitusional tersebut mestinya diterjemahkan dengan praktik pembelajaran yang progresif, mempromosikan toleransi, kebinekaan dan cinta terhadap perbedaan serta cinta tanah air.
Maka dari itu, pembelajaran di kelas harus semenarik mungkin, sehingga guru jangan berhenti belajar mengenai metode pembelajaran yang kreatif dan kritis. Bagi FSGI, sudah waktunya para guru menghadirkan pembelajaran kritis (pedagogi kritis). Keterampilan berpikir kritis adalah salah satu kunci agar siswa tidak bisa lagi dicekoki oleh pemahaman intoleran dan radikal.
"Pemahaman tentang pedagogi kritis dan keterampilan berpikir kritis ini harus bermula dari guru. Jika gurunya profesional dan berpikir kritis tentu suasana pembelajarannya akan dialogis, dinamis dan argumentatif. Bukan lagi pembelajaran yang doktrinatif. Guru tak lagi asik bermonolog satu arah," kata Heru, seperti dilansir netralnews.com.
Bagi Heru, pembelajaran yang perlu diterapkan adalah pelajaran mengundang seperti menurut Conny R Semiawan. Suasanana pembelajaran seperti inilah yang mengedepankan argumen ketimbang sentimen, mengutamakan fakta ketimbang hoax (bohong), tidak langsung menerima satu pendapat dan tentu terbiasa dengan adu argumentasi yang berbasis literasi.
Sementara itu, Wasekjen FSGI Satriwan Salim, mengatakan, "Jadi pedagogi kritis dan literasi yang baik di sekolah adalah kunci utama agar siswa dan guru tak terjebak pada virus intoleran dan radikalisme."
Satriwan juga imbau guru jangan lagi membawa pandangan politik pribadi (kelompoknya) ke depan siswa di kelas. Guru harus mampu memisahkan kepentingan pedagogis dengan preferensi politis dan ideologisnya, apalagi ketika berhadapan dengan siswa di jenjang SMA/MA/SMK yang umumnya sudah punya hak pilih dalam Pilkada/Pemilu.
Satriwan menambahkan, "Ini sangat berbahaya, guru bukannya mengajar, tapi berkampanye di ruang kelas. Siswapun harus berani mengkritisi jika ada guru yang melakukan praktik ini di depan kelas."
Tak kalah penting adalah, kepala sekolah harus punya pemetaan politik dan ideologis masing-masing guru. Juga melakukan kroscek ke siswa bagaimana guru mengajar. Ini sebenarnya sudah tugas pokok kepala sekolah, melakukan pemantauan, penilaian dan evaluasi terhadap proses pembelajaran dan aktivitas pedagogis guru.
Orang tua juga harus berperan aktif dalam mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan gawai dan selama berinteraksi dengan internet. Keingintahuan yang besar seorang anak (siswa) terhadap ideologi apapun harus didampingi secara intelektual, emosional dan spiritual oleh orang tua dan guru, sehingga jangan permisif terhadap perilaku anak (siswa).
Lebih lanjut, FSGI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) khususnya Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) untuk membuat semacam model pembelajaran yang bermuatan pencegahan terhadap intoleransi, radikalisme dan terorisme di setiap jenjang pendidikan.
"Jika ini sudah terbentuk, tentu harus disampaikan secara menyeluruh bagi para guru. Pelatihan-pelatihan yang menunjang terkait pencegahan radikalisme dan terorisme ini sudah mendesak dilakukan secara berjenjang, berkelanjutan dan berkualitas," kata Heru.