UNPI-CIANJUR.AC.ID - Awal 2018 menjadi uji ketahanan bagi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam dua bulan pertama di tahun ini, nilai tukar rupiah tercatat berfluktuasi cukup kencang.
Mengutip data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), kurs dibuka Rp13.542 per dolar AS di pembuka tahun dan menguat hingga Rp13.290 per dolar AS di penghujung Januari silam.
Sayangnya, rupiah harus keok kembali ke angka Rp13.707 per dolar AS di akhir Februari. Dengan demikian, rupiah telah melemah 3,14 persen hanya dalam waktu satu bulan saja. Adapun pada penutupan perdagangan Kamis (1/3), rupiah ditutup menguat tipis di level Rp13.748 per dolar AS dari posisi kemarin Rp13.751 per dolar AS.
Pelemahan yang terjadi di awal tahun ini cukup dalam jika dibandingkan periode tahun sebelumnya. Di periode yang sama tahun lalu, depresiasi rupiah hanya tercatat 0,05 persen saja. Namun, sebetulnya, akan sangat tidak elok untuk menilai pergerakan rupiah hanya dengan membandingkan angka antar periode tanpa menilik sentimen utamanya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, seperti dilansir CNN Indonesia, mengatakan, kebijakan moneter AS bisa dibilang sebagai biang keladi pelemahan rupiah kali ini.
Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tercatat telah mengumumkan tiga kali kenaikan suku bunga acuan sepanjang tahun 2017. Seiring perbaikan indikator makroekonomi AS kali ini, maka ada kemungkinan The Fed juga akan meningkatkan kembali suku bunga acuannya di tahun ini.
Ini bisa menjadi ancaman bagi Indonesia dan negara lainnya. Jika suku bunga acuan AS naik, maka imbal hasil instrumen investasi AS juga semakin membaik. Kondisi inilah yang sedang terjadi di negeri Paman Sam tersebut, di mana imbal hasil obligasi negara AS (US Treasury Bond) tercatat meningkat 7,75 persen hingga 16 persen sejak awal tahun pasca kenaikan suku bunga Fed Rate.
Kalau sudah begitu, tentu Indonesia perlu pasang sikap kuda-kuda untuk menghalau arus modal keluar dari Indonesia (capital outflow) ke AS. Jika capital outflow terjadi, permintaan rupiah akan menyusut dan menyebabkan kurs semakin bergejolak.
Ini pun sebenarnya juga sudah terjadi di Indonesia. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan, investor asing menunjukkan aksi jual bersih sebesar Rp8,56 triliun sepanjang tahun 2018. Tak heran nilai tukar rupiah bergerak tak karuan sepanjang tahun ini.
Agus mengatakan, angka volatilitas nilai tukar rupiah telah mencapai 7 persen hingga 8 persen dari nilai fundamentalnya saat ini atau lebih bergejolak dibanding tahun kemarin yang hanya berada di kisaran 3 persen.
BI melihat bahwa kondisi ini masih terbilang wajar, di mana dinamika tersebut diperkirakan masih akan terjadi jelang rapat dewan pembuat kebijakan bank sentral AS atau biasa disebut The Federal Open Market Commitee (FOMC) sepanjang tahun ini.
Agus menjelaskan, "Kami menyampaikan bahwa BI akan ada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Karena persepsi dan tekanan tidak sesuai fundamental, maka BI hadir untuk menstabilkan."
Sebetulnya, nilai tukar rupiah saat ini bukan yang terburuk selama Agus menduduki kursi nomor satu di otoritas moneter. Kurs tengah tercatat pernah mencapai Rp14.728 per dolar AS pada 29 September 2015 yang ditengarai oleh normalisasi kebijakan moneter AS, devaluasi yuan, dan tidak seimbangnya kebutuhan valuta asing dengan permintaannya.