UNPI-CIANJUR.AC.ID - Praktik politik uang akan marak dijumpai pada pelaksanaan Pilkada 2018, menurut Peneliti Politik LIPI Siti Zuhro. Faktor uang sulit dihindari dalam mengarungi kontestasi Pilkada di Indonesia.
Siti mengatakan, "Karena Pemilu saat ini butuh political cost yang luar biasa, jadi kandidat itu duit yang bicara, kita tak bisa menafikkan itu." Menurutnya, penggunaan politik uang dalam Pemilu memiliki berbagai macam motif. Salah satunya motif 'uang saksi' yang dialami La Nyala Mataliti di Jawa Timur. Menurut Siti hal itu merupakan salah satu bentuk politik uang.
Ia menambahkan, "Ada juga uang pendaftaran, uang untuk TPS, saksi, pengawasan, jadi itu belum berhenti. Masih saja partai meminta kepada para calon."
Penggunaan politik uang dalam Pilkada tidak akan menghasilkan para pemimpin daerah terbaik, menurut Siti. Pemimpin yang bersangkutan akan tersandera untuk 'balik modal' ketimbang menjalankan kinerja yang baik kepada masyarakat. "Dengan ada model uang pencalonan yang membuat calon terbaik dan berkarakter itu tak muncul. Dan ini menjujukan uang adalah segalanya."
Ali Masykur Musa, mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, mengatakan, kandidat yang tidak memiliki modal kemampuan finansial dalam mengarungi Pilkada diprediksi akan kalah. "Suka atau tidak suka pasti terjadi money politic. Tidak ada fulus ya mampus, jadi enggak ada duit ya mampus, kalah."
Menurutnya, politik uang dalam Pilkada kerap terjadi akibat sistem liberalisasi politik melalui pemilihan langsung. Sebab, sistem ini menjadi biang keladi permasalahan tingginya biaya di tiap pelaksanaan pemilihan umum. "Jadi memang Ini problem penyakit liberalisasi politik sekarang, sehebat apapun orang kalau tak ada uang tak bisa menjual ketenaran."