UNPI-CIANJUR.AC.ID - Jika selama ini, terbiasa dengan makan terlalu cepat, ada baiknya diubah. Sebuah studi kesehatan terbaru mengungkapkan kalau makan terlalu cepat berisiko terhadap obesitas dan gangguan kesehatan.
Studi tersebut menambahkan, mereka yang seolah 'menelan' saja makanannya tanpa mengunyah berisiko lima kali lipat kena diabetes, stroke dan gangguan jantung.
Para ahli kedokteran lalu menyarankan agar mereka yang punya kebiasaan buruk itu untuk mengubahnya. Kebiasaan ini membuat seseorang tak sadar mereka sebenarnya telah kenyang dan kemudian makan berlebihan.
Studi tersebut dilakukan para ahli di Jepang dengan survei terhadap 1.083 orang dewasa selama lima tahun, seperti dilansir dari NY Post.
Mereka menemukan bahwa para pemakan cepat itu kemudian punya masalah dengan kelebihan berat badan, kadar gula darah tinggi dan lingkar pinggang yang juga lebih besar.
Para pemakan cepat ini juga punya kesempatan 11,6 persen terkena masalah metabolisme, yang kemudian berisiko kena diabetes dan gangguan jantung. Sementara, bagi mereka yang makan tidak terlalu cepat atau biasa saja potensi kena risiko hanya 2,3 persen.
Dr. Takayuki Yamaji, ketua peneliti, yang juga seorang kardiologis dari Hiroshima University, Jepang mengatakan, "Makan dengan tidak terlalu cepat menjadi kunci gaya hidup sehat yang juga dapat mencegah masalah metabolisme."
Ia menambahkan, "Ketika seseorang makan terlalu cepat mereka tidak merasa kenyang dan makan berlebih. Itu akan mengakibatkan berisiko gula darah yang fluktuatif, dan dapat memicu masalah insulin."
Studi mengenai kebiasaan makan terlalu cepat ini dipresentasikan di sesi pertemuan American Heart Assosication's Scientific di Anaheim, California, AS beberapa waktu lalu.
Masalah terkait metabolisme ditengarai akan menjadi persoalan mengkhawatirkan di masa mendatang. Bahkan, bisa menggantikan posisi kebiasan merokok dalam hal picu gangguan jantung, seperti dikutip laporan Medical News Today.
Persentase pengidap masalah metabolisme disebutkan meningkat hampir di seluruh dunia, antara 10-48 persen dari populasi dan ini patut jadi perhatian.