UNPI-CIANJUR.AC.ID - Gerakan Anti Korupsi (GAK) menolak tegas RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Gerakan yang terdiri dari para alumni dan mahasiswa lintas perguruan tinggi ini menilai beleid tersebut justru menguatkan posisi koruptor dan melemahkan lembaga antirasuah.
Koordinator GAK Rudy Johannes mengatakan, "Ini pelemahan KPK dari luar, lewat RUU KPK. Kenapa harus direvisi? Padahal banyak undang-undang yang perlu direvisi seperti perampasan aset." Seluruh poin yang diajukan dalam revisi justru menghambat termasuk pembentukan dewan pengawas, penerbitan surat penghentian penyidikan, dan penyadapan.
Ia menambahkan, "Kalau dewan pengawas ini nanti siapa yang akan isi? Untuk penyadapan, gimana mau sadap kalau nanti harus izin dan masuk ke dewan pengawas dulu?". Kewenangan penerbitan surat penghentian penyidikan justru dapat didagangkan. Menurutnya praktik tersebut kerap terjadi di dua lembaga penegak hukum lain yang memiliki wewenang yang sama. "Bisa jadi semacam negosiasi tawar-menawar."
Selain itu, ia juga tak sepakat atas pembatasan pengangkatan penyelidik dan penyidik independen. Menurutnya, sebagai lembaga penegak hukum sudah semestinya KPK memiliki penyelidik dan penyidik independen yang diangkat dari lembaga lain seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan serta lembaga selain Kepolisian dan Kejaksaan.
Rudy dan koleganya termasuk mantan panitia seleksi pimpinan KPK Betty Alisjahbana mendesak lembaga antirasuah untuk bersikap tegas. Kelima orang punggawa diminta untuk satu visi menolak RUU tersebut.
Peneliti hukum Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanto menilai DPR terlalu "ngotot" untuk merevisi aturan ini. Ia menduga ada motif politis lantaran parlemen gerah dengan cara KPK tang kerap menyadap anggota parlemen untuk operasi tangkap tangan. "Saya lihat DPR gerah karena KPK efektif sasar politikus."
Menilik efektifitas lembaga KPK maka tak perlu ada revisi yang mendesak harus dilakukan dalam waktu dekat. Baik presiden maupun DPR didesak sepakat untuk menunda hingga empat tahun mendatang, kata Bivitri.