UNPI-CIANJUR.AC.ID - Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, saat ini banyak pemilik gedung menamakan bangunan dengan kosakata bahasa asing. Alasannya untuk menarik konsumen.
Yayat mengatakan, "Sekarang orang merasa lebih seksi. Lebih menjual kalau menggunakan bahasa asing." Penamaan bangunan berpengaruh besar terhadap tujuan pemilik mendirikan bangunan. Misalnya, pemilik yang mendirikan bangunan untuk kepentingan bisnis akan memilih nama yang menjual.
Yayat menambahkan, "Jadi branding itu penting bagi sesuatu apalagi sudah bicara komoditas atau ruang yang ditransaksikan."
Yayat menilai, tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan bangunan yang namanya menggunakan kosakata dalam bahasa asing. Masa kini identik dengan globalisasi sehingga wajar jika masyarakat Indonesia menamakan bangunannya menggunakan kosakata bahasa internasional atau Bahasa Inggris. Nantinya akan muncul banyak masalah jika pemerintah memaksa para pemilik bangunan mengubah nama bangunannya menggunakan kosakata Bahasa Indonesia.
Sebab, pemilik harus menanggung biaya besar mencakup penggantian surat-surat kepemilikan, kop surat, amplop, kartu nama pegawai, seragam pegawai, dan lainnya. "Dulu itu, kata departemen jadi kementerian itu menghabiskan miliaran."
Diketahui, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 menyatakan, setiap bangunan yang ada di Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam penamaannya.
Hal itu tercantum dalam Pasal 36 ayat (3) yang berbunyi, Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Merujuk pada undang-undang yang sama, bangunan yang boleh menggunakan kata dalam bahasa selain bahasa Indonesia adalah bangunan bersejarah dan tempat ibadah. Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 36 ayat (4).