Peluang Ilmu Komunikasi sebagai penyokong ekonomi kreatif
unpi/kompas.com • Rabu, 02 September 2020 21:00 Wib
Sumber Foto : quora.com
UNPI-CIANJUR.AC.ID - Bagaimana melihat kondisi umpama jamur di musim hujan, ketika nyaris seluruh perguruan tinggi di Indonesia mutakhir menghadirkan fakultas/program studi/jurusan ilmu komunikasi? Apakah ini surplus, ataukah defisit, dengan kebutuhan riil di lapangan?
Jika memang defisit, kenapa faktanya para ahli komunikasi publik kampiun, sebut di televisi nasional tak selalu jurusan ilmu komunikasi --sebut saja Tina Talisa yang berlatar pendidikan dokter gigi, atau Pemred Kompas TV Rosiana Silalahi yang alumni Sastra Jepang.
Sebelum menjawab prolog pertanyaan tersebut, ada dua baseline yang harus difahami bersama. Pertama, ilmu komunikasi pada dasarnya adalah derivatif dari fakultas ilmu sosial politik di berbagai perguruan tinggi negeri terkemuka di negeri ini yang secara historis sudah eksis sejak Zaman Belanda. Bahkan, banyak perguruan tinggi di Indonesia yang dibuka dengan seputaran ilmu sosial tersebut.
Karenanya, sebagai sebuah ilmu turunan, ilmu komunikasi menjadi sebuah cabang ilmu relatif baru, dalam proses in making, serta masih butuh dayungan ilmu atas aras zaman agar menjadi salah satu cabang ilmu yang mapan dan kontributif.
Kedua, ilmu komunikasi adalah bidang ilmu inklusif; Siapapun bisa menjadi pelaku profesinya sekalipun berasal dari jurusan tak berkaitan. Hal yang membedakan misalnya dengan profesi pengacara, jaksa, dan hakim yang hanya bisa oleh lulusan sarjana hukum.
Saking cairnya bidang ini, muncul sebutan IPB sebagai Institut Publisistik/Penyiaran Bogor karena banyaknya lulusan kampus agribisnis tersebut kemudian berprofesi sebagai praktisi komunikasi massa handal dan berpengalaman.
Secara praktis, terutama di bidang profesi media massa, kondisi ini wajar saja jika mengingat rubrikasi di media massa sangat beragam. Dari mulai ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, hingga olahraga, yang kemudian menjadi relevan bagi latar ilmu yang majemuk.
Nah, ini tambah menarik, ketika ada proses sertifikasi terkait, semisal uji kompetensi wartawan (UKW), Dewan Pers pun tidak melihat latar pendidikan peserta. Selama diizinkan kantor dan lulus materi UKW terkait kewartawanan, peserta dari disiplin ilmu apapun bisa meraihnya.
Dengan dua titik pijak tersebut, maka dengan sendirinya, lulusan ilmu komunikasi akan masuk bursa kerja maha ketat. Mereka tak bersaing hanya dengan sesama jurusannya, mereka tiada kena sortir pelamar yang ketat dan ekslusif sedari awal.
Maka itu, tak jarang kemudian lowongan ilmu komunikasi pun "direbut" yang bukan alumni linear. Sering pula terjadi, alumnus ilmu komunikasi yang tak punya keahlian spesifik, dengan mudah dilibas lulusan non komunikasi yang otodidak namun gaul dengan keahlian komunikasinya.
Namun jangan patah arang apalagi jatuh mental, karena sesungguhnya bukan kebutuhan lulusan komunikasinya yang sempit, namun arah skills yang harus lebih ditajamkan.
Saat ini, new media kian tumbuh eksponensial bergerak melampaui utilitas dan peluang pasar media konvensional, maka dibutuhkan kompetensi unik, spesifik, dan menarik yang harus dimiliki lulusan ilmu komunikasi dalam arungi medan ketat.
Kompetensi tersebut, selain merujuk pada keahlian dasar ilmu komunikasi (sebut saja kemampuan menulis, public speaking, multimedia, dan event management), juga harus seiring dan sejalan dengan kebutuhan dari new media.
Atau dalam istilah lain yang dipopulerkan Indra Utoyo dalam buku Silicon Valley Mindset (Gramedia Pustaka Utama, 2016), haruslah beriringan dengan peradaban ekonomi konseptual yang menekankan high think, high tech, namun high touch
Setelah era manufaktur digantikan era informasi, kini adalah saatnya era yang tak selalu bertumpu pada irisan antara padat modal dan padat kerja. Inilah era yang penuh usungan akan nilai-nilai ide, konsep, kreativitas, dan inovasi
Era dimana peluang terlihat sempit pada bidang aplikasi ilmu konvensional, namun sangat terbuka lebar dengan aneka peluang ilmu komunikasi penyokong ekonomi kreatif.
Inilah waktu tepat dan akurat jika para alumni komunikasi tak selalu harus bekerja pada profesi yang itu-itu saja: Jurnalis/humas/iklan/manajemen komunikasi.
Namun, di sisi lain, ada ratusan hingga ribuan startup se-Indonesia yang memerlukan sentuhan skills spesifik lulusan komunikasi. Dengan rerata pendiri berlatar teknik informatika, mereka perlu mitra yang faham berkomunikasi ke publik.
Dimana program studi Ilmu Komunikasi, diajarkan tentang bagaimana proses penyampaian pesan agar menjadi efektif dan dapat mencapai sasaran yang dituju.
Hingga kemudian lmu Komunikasi menjadi salah satu program studi (prodi) terfavorit calon mahasiswa baru dari masa ke masa.
Hal itu diakui oleh Ketua Pelaksana Eksekutif Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), Budi Prasetyo Widyobroto. Ia mengatakan, tahun ini tren program studi (prodi) favorit yang menjadi pilihan calon mahasiswa di Indonesia belum bergeser dari tahun-tahun sebelumnya.
Saat dihubungi Kompas.com, Rabu (12/8/2020), Dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) Dr. Subhan Afifi mengungkapkan ada banyak pilihan karier bagi lulusan Ilmu Komunikasi.
Kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi ini cakupannya sangat luas sekali. Jadi semua tergantung peminatan dan konsentrasi apa yang didalami ketika kuliah," ujarnya.
Menurut Dr. Subhan Afifi, Prodi di Ilmu Komunikasi biasanya masih terbagi menjadi beberapa konsentrasi, seperti Jurnalistik, Penyiaran, Hubungan Masyarakat (Public Relation), Komunikasi Pemasaran, Desain Komunikasi Visual, Periklanan (Adveritising), Performing Arts Communication, Media Kreatif dan lain-lain.