UNPI-CIANJUR.AC.ID - Isu ujaran kebencian, propaganda, dan berita bohong sangat kompleks. Hal ini diungkap perwakilan ketiganya dalam diskusi panel dengan mahasiswa hukum dan pengacara di Universitas Stanford.
Perwakilan tiga media sosial ini menyebut bahwa untuk masalah ini tak memiliki jawaban yang mudah dan mereka juga tak yakin ada masalah didalamnya.
Untuk memberantas masalah ini, Twitter tiap minggunya menyelidiki 6,4 juta akun. Hal ini dilakukan untuk mencegah menyebarnya infomasi yang salah dan aktor-aktor dibaliknya.
Nick Pickles, Manager Kebijakan Publik Senior Twitter tak menyebut berapa banyak dari akun yang dicurigai itu yang akhirnya dihapus. Ia hanya menyebut jumlahnya besar. Ia juga tak mengungkap bagaimana mereka memastikan orang yang ada di belakang akun yang ditangguhkan itu berhenti membuat akun atau konten negatif lainnya.
Twitter juga menyebut bahwa telah melakukan pembaruan API untuk kepada aplikasi yang bisa menggunakan beberapa akun Twitter sekaligus, seperti Tweetdeck.
Para penguasa media sosial itu juga menduga tak ada yang tahu berapa banyak informasi yangg salah dan ujaran kebencian yang ada dan bagaimana dampaknya. Panel itu juga menyimpulkan bahwa tidak jelas dan tidak diketahui apakah ujaran kebencian sebenarnya memengaruhi seseorang.
Juniper Downs, Kepala Kebijakan Publik dan Relasi Pemerintah YouTube Global setuju bahwa tiga masalah tersebut terlalu dibesar-besarkan dan membantah kalau demokrasi telah mati.
Masalah misinformasi dan propaganda telah hadir dalam sejarah Amerika Serikat, katanya. Sehingga, aktor-aktor jahat ini akan tetap hadir, ada atau tidak adanya media sosial. Mereka hadir secara online ataupun offline.
Ia pun menganggap terburu-buru membuat kebijakan baru tanpa memahami isunya secara keseluruhan merupakan suatu kesalahan, seperti disebut Business Insider.