UNPI-CIANJUR.AC.ID - Bank Indonesia (BI) menerbitkan aturan main yang mewajibkan seluruh perusahaan teknologi jasa keuangan (financial technology/fintech) di bidang sistem pembayaran untuk mendaftarkan diri ke bank sentral. Aturan tersebut juga mewajibkan fintech menggunakan rupiah, sehingga melarang fintech menggunakan mata uang virtual (virtual currency).
Adapun aturan ini tertuang dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial yang dirilis pada 29 November lalu.
Ketentuan tersebut diperlukan agar BI bisa melakukan perlindungan kepada konsumen, menyiapkan manajemen risiko, hingga menerapkan unsur kehati-hatian pada seluruh perusahaan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), menurut Deputi Gubernur BI Sugeng.
Ia mengatakan, "Ketentuan ini memuat pengaturan, pengawasan, dan pemantauan terhadap penyelenggaraan teknologi finansial tersebut."
Fintech yang melakukan pendaftaran harus memenuhi beberapa hal pokok, seperti menerapkan prinsip perlindungan konsumen, menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi konsumen termasuk data dan/atau informasi transaksi, dan menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian, jelas Sugeng.
Kemudian, fintech juga harus menggunakan rupiah di setiap transaksi yang dilakukan, sehingga fintech dilarang menggunakan mata uang virtual (virtual currency). Lalu, fintech harus pula menerapkan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sugeng menerangkan, "Adanya mata uang lain seperti virtual currency yang pada dasarnya pijakannya landasan lemah dimana volatailenya tinggi dan kemudian ini juga menimbulkan suatu dampak yang negatif."
Kendati demikian, BI hingga kini belum mengatur secara khusus larangan penggunaan mata uang virtual.
Selain menerbitkan PBI tersebut, BI juga mengeluarkan dua aturan turunan. Pertama, Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial.
Regulatory sandbox ini untuk menguji coba produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis fintech. Tujuannya agar fintech dan BI dapat bersama-sama melakukan pengawasan dan evaluasi atas seluruh inovasi dari fintech, sehingga bila ada yang masih kurang, bisa bersama-sama dikembangkan.
Kedua, PADG No. 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial. Aturan main yang satu ini lebih ke teknis pendaftaran fintech di BI.
Kendati demikian, Sugeng mengatakan, untuk fintech yang telah terdaftar dan mendapat izin dari otoritas lain, tak perlu mendaftar ke BI. Namun, setidaknya memberikan informasi bisnisnya ke BI. "PJSP (yang sudah terdaftar) harus tetap menyampaikan informasi kepada BI mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru yang memenuhi kriteria teknologi finansial."
BI berharap aturan main ini bisa mendorong pertumbuhan bisnis fintech yang selanjutnya turut memberi sumbangan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, tetap menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.